makalah kepemimpinan dalam islam

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

logo

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam

Oleh :

1. AHENDRA RAHAYU LESTARI NINGSIH 18096644

2. DINA AYU KUSUMAWATI 18096651

3. EFFENDI ERFIN 18096655

4. DIMAS YUNIANTO HERBOWO 18096657

Jurusan Manajemen Informatika

B I N A S A R A N A I N F O R M A T I K A

Yogyakarta

2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan

karuniaNya kami dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan Agama “Kepemimpinan dalam Islam”. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan kepada pembaca di bidang agama Islam, khususnya dalam peran manusia sebagai khalifah di muka bumi. Di samping itu, makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama.

Manusia, sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna harus sadar

akan keberadaan dirinya, tidak takut untuk mengubah kehidupannya untuk menjadi lebih

baik, dan tidak berhenti untuk terus menimba ilmu dalam kehidupan guna keluar dari kebodohan imannya dan menuju peningkatan nilai dan kecerdasan takwa dirinya kepada

Sang Maha Pencipta.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan ini. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharap kritik dan saran.

Tak ada gading yang tak retak, kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata.

Semoga makalah ini menjadi pelita bagi individu yang ingin mengembangkan kepribadian

dirinya. Amin.

Yogyakarta, Mei 2011

DAFTAR ISI

Lebar Judul………………………………………………………………… i

Kata Pengantar……………………………………………………………... ii

Daftar Isi…………………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….. 1

1.1.Latar Belakang……………………………………………………........ 1

1.2.Maksud Dan Tujuan…………………………………………………… 1

1.3.Ruang Lingkup………………………………………………………… 2

BAB II PENJELASAN KEPEMIMPINAN……………………………….. 3

2.1. Kepemimpinan……………………………………………………... 3

2.2. Ciri-Ciri Pemimpin Menurut Islam……..…………………………. 4

2.3. Syarat-syarat Pemimpin Dalam Islam……………………………... 7

2.4. Pokok-Pokok Kepemimpinan Islam……………………………… 13

BAB III KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM…………………………... 15

3.1. Kepemimpinan Dalam Islam…………………………………….. 15

3.2. Hubungan Kepemimpinan Dengan Ayat………………………… 18

BAB IV PENUTUP……………………………………………………… 21

4.1. Kesimpulan………………………………………………………. 21

4.2. Saran……………………………………………………………… 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalau berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati dan menghargai. Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan dan menjaga kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia.

Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia dianugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik. Allah SWT menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi hanya untuk menyembah dan beribadah kepadaNya. Mengerjakan segala perintahNya, mulai dari shalat, puasa, zakat, dan segala hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi diri manusia itu sendiri dan menjauhi laranganNya agar dapat mencegah kerusakan di muka bumi.

Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan sosial manusiapun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri.

Dengan berjiwa pemimpin, manusia akan dapat mengelola diri, kelompok dan lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relative pelik dan sulit. Di sinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik.

1.2. Maksud Dan Tujuan

Maksud dan tujuan laporan makalah ini “Kepemimpinan Dalam Islam”. Adalah sebagai syarat untuk memenuhi salah satu mata kuliah pendidikan agama islam

Maksud penulisan makalah ini adalah :

1. Mendidik siswa agar dapat bertanggung jawab pada penulisannya secara obyektif.

2. Memberi kesempatan pada siswa untuk menjadi pribadi memiliki wawasan yang luas dan kongkrit.

Sedangkan tujuan dari penulisan makalah adalah sebagai berikut :

1. Mengembangkan pendapat siswa untuk selalu optimis dan percaya diri akan kemampuan sendiri pada penulisan makalah ini.

2. Mendidikan siswa untuk dapat menunjukkan kualitas daya pikirnya sebagai insan akademik yang memiliki kemampuan intelektual.

3. Mendidik agar dapat memberi alasan sari pengalaman yang didapat kemudian disosialisasikan dalam bentuk tulisan.

4. Untuk memenuhi salah satu syarat tugas pendidikan agama.

1.3. RUANG LINGKUP

Karena keterbasan kemampuan penulis, maka ruang lingkup tugas akhir ini hanyalah kepemimpinan menurut islam. Hal tersebut dimaksudkan agar terfokus masalah yang akan dibahas, sehingga pembaca lebih mudah mempelajarinya.

BAB II

PENJELASAN KEPEMIMPINAN

2.1. KEPEMIMPINAN

A. HAKIKAT KEPEMIMPINAN

Dalam kehidupan sehari – hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan sampai dengan pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan. Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan yang berkaitan satu dengan lainnya. Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain.

Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya. Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang – orang sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal untuk menyelesaikan tugas – Field Manual (22-100).

Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya. Ketiga kata yaitu pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan yang dijelaskan sebelumnya tersebut memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang

mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.

B. KRITERIA PEMIMPIN

Adapun kriteria pemimpin itu sendiri, yakni:

a. Pemimpin yang mukmin.

b. Tegas dalam menjalankan perintah Tuhan.

c. Takut kepada Allah swt sewaktu mengurusi orang-orang yang dipimpinnya.

d. Tidak menzalimi siapapun.

e. Tidak memerkosa hak-hak orang lain.

f. Menegakkan dan bukan melecehkan hudud Allah swt.

g. Membahagiakan rakyatnya dengan mengharap rida Allah swt.

h. Orang kuat di sisinya menjadi lemah sehingga si lemah dapat mengambil kembali haknya

yang direbut si kuat.

i. Orang lemah di sisinya menjadi kuat sehingga haknya dapat terlindungi.

j. Menampakkan kepatuhan kepada Allah swt dalam menetapkan kebijakan yang

berhubungan dengan hajat hidup orang banyak sehingga dirinya dan orang-orang yang

dipimpinnya merasa bahagia.

k. Semua orang hidup aman dan tenteram.

l. Sangat mencintai manusia, begitu pula sebaliknya.

m. Selalu mendoakan manusia, begitu pula sebaliknya. Kriteria di atas menjadi indikator bagi

pemimpin yang terbaik dan termulia di sisi Allah swt dan manusia.

2.2. CIRI-CIRI PEMIMPIN MENURUT ISLAM

Adapun cirri-ciri pemimpin menurut islam adalah sebagai berikut :

1. NIAT YANG TULUS

Apabila menerima suatu tanggung jawab, hendaklah didahului dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Iringi hal itu dgn mengharapkan keredhaan-Nya sahaja. Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.

2. LAKI-LAKI

Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu).

3. TIDAK MEMINTA JABATAN

Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

4. BERPEGANG DAN KONSISTEN PADA HUKUM ALLAH

Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan jaganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49).
Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dilucutkan dari jabatannya.

5. MEMUTUSKAN PERKARA DENGAN ADIL

Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan keadaan terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).

6. SENANTIASA ADA KETIKA DIPERLUKAN RAKYAT

Hendaklah selalu membuka pintu utk setiap pengaduan dan permasalahan rakyat. Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin atau pemerintah yg menutup pintunya terhadap keperluan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap keperluan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).

7. MENASIHATI RAKYAT

Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin yg memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasihati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk syurga bersama mrk (rakyatnya).”

8. TIDAK MENERIMA HADIAH

Seorang rakyat yg memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Oleh kerena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya. Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).

9. MENCARI PEMIMPIN YANG BAIK

Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pembantu, yaitu pembantu yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pembantu yang menyuruh kpd kemungkaran dan mendorongnya ke sana. Maka org yg terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).

10. LEMAH LEMBUT

Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yg mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.

11. TIDAK MERAGUKAN RAKYAT

Rasulullah bersabda,” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim).

12. TERBUKA UNTUK MENERIMA IDE & KRITIKAN

Salah satu prinsip Islam adalah kebebasan bersuara. Kebebasan bersuara ini adalah platform bagi rakyat utk memberi idea atau kritikan kepada kerajaan & pemimpin agar sma mngembling tenaga & ijtihad kearah pembentukn negara yg maju. Saidina Abu Bakar berucap ketika dilantik menjadi khalifah, beliau menegaskan "..saya berlaku baik, tolonglah saya, dan apabila saya berlaku buruk, betulkn saya..", manakala Khalifah Umar prnah ditegur oleh seorang wanita ketika memberi arahan di masjid, dan beliau menerima teguran tersebut.

2.3. SYARAT-SYARAT PEMIMPIN DALAM ISLAM

Kepemimpinan setelah Rasulullah SAW ini, merupakan pemimpin yang memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul, terbebas dari segala bentuk dosa, memiliki pengetahuan yang sesuai dengan realitas, tidak terjebak dan menjauhi kenikmatan dunia, serta harus memiliki sifat adil. Pemimpin setelah Rasul harus memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul. Karena pemimpin merupakan patokan atau rujukan umat Islam dalam beribadah setelah Rasul. Oleh sebab itu ia haruslah mengetahui cita rasa spritual yang sesuai dengan realitasnya, agar ketika menyampaikan sesuatu pesan maka ia paham betul akan makna yang sesungguhnya dari realitas (cakupan) spiritual tersebut. Ketika pemimpin memiliki kualitas spiritual yang sama dengan rasul maka pastilah ia terbebas dari segala bentuk dosa.

Menurut Murtadha Muthahhari, umat manusia berbeda dalam hal keimanan dan kesadaran mereka akan akibat dari perbuatan dosa. Semakin kuat iman dan kesadaran mereka akan akibat dosa, semakin kurang mereka untuk berbuat dosa. Jika derajat keimanan telah mencapai intuitif (pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran) dan pandangan bathin, sehingga manusia mampu menghayati persamaan antara orang melakukan dosa dengan melemparkan diri dari puncak gunung atau meminum racun, maka kemungkinan melakukan dosa pada diri yang bersangkutan akan menjadi nol. Saya memahami apa yang dikatakan Muthahhari derajat keimanan telah mencapai intuitif dan pandangan bathin ini adalah sebagai telah merasakan cita rasa realitas spiritual. Dengan adanya kondisi telah merasakan cita rasa realitas spiritual, maka pastilah Rasulullah SAW dan Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunannya tadi terbebas dari segala bentuk dosa.

Kondisi ini juga akan berkonsekuensi pada pengetahuannya yang sesuai dengan realitas dari wujud atau pun suatu maujud. Ketika pemimpin tersebut mengetahui realitas dari seluruh alam, maka pastilah ia tahu akan kualitas dari dunia ini yang sering menjebak manusia. Kemudian seorang pemimpin haruslah juga memiliki sifat adil. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi ini ada.” Imam Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Keadilan bak hukum umum yang dapat diterapkan kepada manajemen dari semua urusan masyarakat. Keuntungannya bersifat universal dan serba mencakup. Ia suatu jalan raya yang melayani semua orang dan setiap orang. Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin ini dapat dilihat dari cara ia membagi ruang-ruang ekonomi, politik, budaya, dsb pada rakyat yang dipimpinnya. Misalkan tidak ada diskriminasi dengan memberikan hak ekonomi (berdagang) pada yang beragama Islam, sementara yang beragama kristen tidak diberikan hak ekonomi, karena alasan agama. Terkecuali memang dalam berdagang orang tersebut melakukan kecurangan maka ia diberikan hukuman, ini berlaku bagi agama apapun.

Dengan demikian jelas bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, maka ummat Islam sebenarnya memiliki seorang pemimpin, yakni Imam Ali Bin Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan oleh beberapa keturunannya, yang mana akhir dari kepemimpinan tersebut adalah Imam Mahdi, yang disebut sebagai Imam akhir zaman.

Akan tetapi sekarang ini, Dimanakah Imam Mahdi tersebut? dan siapakah yang memimpin umat Islam di zaman ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 4 dasar falsafi kepemimpinan kelompok dalam Islam (syi’ah), yaitu:

Pertama, Allah adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya.. Allah adalah Malik al-Nas, pemegang kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi hukum. Manusia harus dipimpin oleh kepemimpinan Ilahiyah. Sistem hidup yang bersumber pada sistem ini disebut sistem Islam, sedangkan sistem yang tidak bersumber pada kepemimpinan Ilahiyah disebut kepemimpinan Jahiliyah. Hanya ada dua pilihan kepemimpinan Allah atau kepemimpinan Thagut.
Kedua, kepemimpinan manusia yang mewujudkan hakimiah Allah dibumi adalah Nubuwwah. Nabi tidak saja menyampaikan Al-qanun Al-Ilahi dalam bentuk kitabullah, tetapi juga pelaksana qanun itu sendiri. ”Seperangkat hukum saja tidak cukup untuk memperbaiki masyarakat. Supaya hukum dapat menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan pelaksana.” menurut Khomeini. Para Nabi diutus untuk menegakkan keadilan, menyelamatkan masyarakat manusia dari penindasan. Nabi telah menegakkan pemerintahan Islam dan Imamah keagamaan sekaligus.

Ketiga, garis Imamah melanjutkan garis Nubuwwah dalam memimpin ummat. Setelah zaman Nabi berakhir dengan wafatnya Rasulullah SAW, kepemimpinan ummat dilanjutkan oleh para imam yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya. Setelah lewat zaman Nabi, maka datanglah zaman Imam. Jumlah Imam ini ada 12 (dua belas), pertama adalah Imam Ali Bin Abi Thalin, dan yang terakhir adalah Muhammad ibn Al-Hasan Al Mahdi Al Muntazhar, yang sekarang dalam keadaan gaib. Imam Mahdi mengalami dua ghaibah, yakni ketika dia bersembunyi didunia fisik, dan mewakilkan kepemimpinannya kepada Nawab al-Imam (wakil Imam), dan ghaibah kubra, yaitu setelah Ali Ibn Muhammad wafat, sampai kedatangannya kembali pada akhir zaman. Pada ghaibah kubra inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqih, hingga akhir zaman tiba.

Keempat, para faqih diberikan beban menjadi khalifah. Kepemimpinan Islam berdasarkan atas hukum Allah. Oleh karena seorang faqih haruslah orang yang lebih tahu tentang hukum Illahi.

Jalaluddin Rakhmat dalam buku Yamani yang berjudul, filsafat Politik Islam, menyebutkan bahwa secara terperinci seorang faqih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

Faqahah, mencapai derajat mujtahid mutlak yang sanggup melakukan istinbath hukum dari sumber-sumbernya.

’adalah : memperlihatkan ketinggian kepribadian, dan bersih dari watak buruk. Hal ini

Ditunjukkan dengan sifat istiqamah, alshalah, dan tadayyun.

Kafa’ah : memiliki kemampuan untuk memimpin ummat, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang secara kejiwaan dan ruhani.

Menurut Khomeini, selain persyaratan umum seperti kecerdasan dan kemampuan mengatur (mengorganisasi), ada dua syarat mendasar lainnya bagi seorang fuqaha yaitu pengetahuan akan hukum dan keadilan. Seorang fuqaha sebenarnya adalah wujud dari hukum Islam itu sendiri. Dengan ini terlihat bahwa seorang fuqaha itu tidaklah boleh untuk berbuat salah. Sebelum akhir zaman tiba, maka kepemimpinan Islam haruslah di pegang oleh seorang ulama (faqih) yang memenuhi syarat-syarat. Tidak sembarang manusia dapat menjadi faqih (ulama). Manusia harus melewati proses-proses pengujian baik secara intelektual maupun spiritual. Mudah-mudahan kita selalu mendapatkan bimbingan dan hidayah-Nya.

Dalam kitab Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah (5 : 461) menyimpulkan : "Mereka sepakat bahwa imam disyaratkan harus Muslim, mukallaf, merdeka, laki-laki, Quraisy, adil, alim, mujtahid, pemberani, memeliki wawasan yang benar, sehat pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan." Ibn Taimiyah, walaupun menolak syarat-syarat klasik ini, karena dianggap tidak realistis, namun beliau menegaskan bahwa keadilan beserta amanah adalah dua kualitas esensial pemerintahan Islam (lihat Qamaruddin Khan, The Political Thoughts of Ibn Taymiyah, Islamabad Islamic Research Institution, 1973). Setelah Rasulullah Saw wafat, yang memegang kendali kepemimpinan politik Islam, bukan lagi tokoh ideal seperti Nabi. Abu Bakar Ra –seperti dinyatakan oleh Umar Ra dalam kitab Al-Hudud, Bab Rajm Al-Hubla, Shahih Bukhari—dipilih tergesa-gesa, tetapi Allah Swt menyelamatkan umat dari kekurangannya. Bahkan Abu Bakar sendiri mengakui bahwa ia bukanlah orang yang paling baik untuk menduduki jabatan khalifah. Ketika diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar Ra berkhutbah : "Sesungguhnya dalam posisi ini aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Ketahuilah kadang-kadang syaitan menguasai diriku. Bila aku baik bantulah aku. Bila aku salah luruskanlah aku. Taati aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, kalian tidak wajib menaatiku." (Khutbah ini diungkapkan dengan bermacam-macam redaksi pada Ibn Hiyam (4 : 340), Al-Tabari (3 : 303), Al-Imamah wa Al-Syiyasah (16); Ibn Katsir (5 : 248); Tarikh Al-Khulafa' (47); Al-Halabiyah (3 : 397); dan Kanz Al-Ummal (3 : 129). Jadi, sebenarnya Abu Bakar dipilih tidak melalui suatu proses ijma', seperti diyakini oleh banyak kalangan. Para mu'arrikh misalnya, menyebutkan sejumlah orang yang berlindung di rumah Fatimah Az-Zahra Ra; 'Abbas, Salman, 'Ammar ibn Yasir, Al-Barra' ibn 'Azib, Sa'ad ibn Abi Waqqash, 'Utbah ibn Abi Labhab, Abu Dzar, Miqdad ibn Al-Aswad, Ubay ibn Ka'ab, Thalhah ibn Ubaidillah, kelompok Bani Hasyim, sekelompok Muhajir dan Anshar. [Baca : Musnad Ahmad (1 : 155); Al-Thabari (2 : 466); Ibn Al-Atsir (2 : 124); Ibn Katsir (5 : 246); Ibn Abi Al-Hadid (1 : 123); Tarikh Al-Khulafa' (45); Ibn Hisyam (4 : 338); Tarikh Al-Khamis (1 : 188); Ibn 'Ad Rabbih; Tarikh Abi Al-Fida (1 : 156); dan Al-Halabiyah (3 : 394)]. Mereka beranggapan bahwa 'Ali ibn Abi Thalib Kw, berdasarkan nash penunjukan oleh Nabi Saw, berhak untuk menjadi khalifah. Beliau dipandang lebih adil, lebih faqih, dan lebih dekat dengan Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah Fatimah Az-Zahrah Ra wafat, 'Ali berbaiat kepada Khalifah Abu Bakar Ra yang kemudian diikuti oleh kelompoknya. Sa'ad ibn 'Ubadah, calon pemimpin dari kalangan Anshar yang tidak terpilih, pun tidak melakukan perlawanan. 'Ali ibn Abi Thalib Kw malah memberikan dukungan intelektual terhadap Abu Bakar dan Umar. Beliau sering membantu mereka dalam mengatasi masalah-masalah hukum, walau pun ia tidak menduduki jabatan apa pun. Dalam menghadapi kesenjangan, seperti dikatakan Jalaluddin Rahmat; antara das Sollen dan das Sein –yang tidak begitu besar—umat terpecah kepada kelompok pendukung das Sollen dan kelompok pendukung das Sein.

Pada zaman Abu Bakar dan Umar, kedua kelompok ini –setelah komplik yang juga tidak begitu besar—bergabung mendukung keduanya. Sehingga, seperti dikatakan Maududi, Abu Bakar dan Umar berhasil menegakkan sistim politik yang adil: pemerintahan berdasarkan musyawarah, amanah, kekuasaan hukum, jiwa demokrasi, dan anti ashabiyah. Kualifikasi Pemimpin dalam Pemikiran Islam Sebenarnya, apa sajakah kualifikasi pemimpin menurut para pemikir politik Islam? Adalah Al-Farabi yang memiliki concern mengenai pewenang tertinggi dalam pemerintahan ini. Beliau menyebutnya dengan al-ra'is al-awwal li al-madinah al-fadhilah wa ra'is al-mamirah min al-ardh kulliha (Pemimpin Tertinggi Negara Utama dan Pemimpin Oikumene Dunia). Di antara sifat-sifat pemimpin yang disebutkan Al-Farabi ialah : "…bijak, berbadan kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat daya hafalannya, sangat cerdas, fasih berbicara, cinta kepada ilmu, sanggup menanggung beban dan kesulitan karenanya, tidak rakus kepada kenikmatan jasmani, cinta kepada kejujuran, mulia jiwanya, adil dan teladan bagi semua orang –hatta terhadap diri dan keluarganya—serta berani dan paling awal." Al-Farabi juga menyebutkan : "Terhimpunnya semua syarat dan sifat ini dalam diri seseorang adalah sesuatu yang jarang terjadi. Apabila semua ini terpenuhi dalam diri seseorang, dialah sang pemimpin.

Kalau tidak, orang yang paling banyak memiliki sifat-sifat tersebutlah yang dapat menjadi pemimpin. Apabila tidak ada seorang pun yang memenuhi sifat-sifat tersebut secara maksimal, namun ada dua orang, yang satu bijak (hakim) dan lainnya memiliki sifat-sifat yang lain, maka kedua-duanya menjadi pemimpin bersama. Dan masing-masing orang saling melengkapi satu dengan lainnya. Apabila sifat-sifat ini ada pada lebih dua orang, dan mereka saling mengerti, maka semuanya adalah para pemimpin yang dihormati." Sementara itu, Syeikh Al-Ra'is ibn Sina menyatakan dalam kitabnya, Al-Syifa', Bab "Penentuan Khalifah dan Imam", sebagai berikut : "… Kemudian wajib bagi seorang pemimpin untuk mewajibkan patuh kepada orang yang akan menggantikannya. Suksesi ini tidak boleh terjadi melainkan dari sisinya, atau berdasarkan ijma' para ahli senior atas seseorang yang secara publik dan aklamasi diakui sebagai orang yang mandiri dalam politik, kuat secara intelektual, bermoral mulia –seperti berani, terhormat, cakap mengelola, dan arif dalam hukum syariat—sehingga tiada orang yang lebih dikenal darinya." "Ditetapkan kepada mereka bahwa apabila terjadi perselisihan atau pertikaian lantaran dorongan hawa nafsu, atau mereka sepakat (menetapkan) orang yang tidak memiliki keutamaan-keutamaan ini, dan yang tidak layak, maka mereka akan kafir kepada Allah Swt." Al-Qadhi Abu Ya'la Al-Gharra' dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, menyatakan : "Orang yang layak menjadi pemimpin harus memenuhi empat syarat, yaitu :

1) berasal dari keturunan Quraisy;

2) memenuhi sejumlah syarat, seperti layaknya seorang hakim (qadhi), merdeka, akil, balig, berilmu, dan adil;

3) arif dalam urusan peperangan, politik, dan pelaksanaan hukum-hukum hudud sehingga rasa belas kasihannya tidak menghalanginya dari berbuat adil, serta memiliki sifat membela umatnya; dan

4) yang paling utama dalam ilmu dan agama di antara mereka.

" Al-Mawardi, teoritisi utama politik Islam Sunni memerinci dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, bahwa : "Orang yang layak menyandang kepemimpinan, harus memenuhi tujuh syarat, yaitu :

1) adil dengan keseluruhan persyaratannya;

2) berilmu pengetahuan sehingga mampu berijtihad dalam kasus-kasus yang dihadapi dan ketetapan-ketetapan hukum;

3) memiliki kesempurnaan indra seperti pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan agar dengannya ia bisa melaksanakan tugasnya sendiri;

4) tak memiliki cacat tubuh yang bisa menghalangi dinamika kerja dan tindakan segera;

5) memiliki kemampuan menggagas yang dapat melahirkan strategi kepemimpinan rakyat dan pengaturan kemaslahatan;

6) berani dan tangguh sehingga mampu mempertahankan Negara dan melawan musuh; dan

7) nasab sang pemimpin hendaklah dari keturunan Quraisy, dan mendapatkan kesepakatan (konsensus).

" (Lihat Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, 6). Sementara itu, uraian tentang kepemimpinan Islam dalam pandangan Syi'ah bertolak dari konsep wilayah dan imamah. Wilayah adalah konsep luas yang meliputi juga imamah dan wilayah bathiniyyah. Sedangkan imamah adalah kepemimpinan (zi'amah), pemerintahan (hukumah) dan riasah 'ammah dalam urusan dunia dan agama, yang terdapat pada diri Nabi Saw dan para imam sesudah Nabi. Menurut Murtadha Muthahhari, kata wala, walayah, wilayah, wali, maula, dan derivat lainnya, banyak sekali disebut dalam Al-Quran. Sebagai kata kerja disebut 124 kali, dan sebagai kata benda disebut 112 kali. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya Al-Quran memandang masalah wilayah. Dalam buku Al-Mukaddimah, Ibn Khaldun menulis tentang kualifikasi pemimpin : "Syarat-syarat jabatan ini ada empat; ilmu, keadilan, kemampuan, dan keselamatan indra dan

anggota tubuh dari hal-hal yang bisa mempengaruhi cara berpendapat dan bertindak. Adapun syarat kelima, tentang keturunan Quraisy, hal ini masih diperselisihkan. Syarat berilmu pengetahuan juga jelas, karena dia akan bisa menjalankan hukum-hukum Allah apabila dia mengetahuinya. Hal yang tidak diketahuinya tidak boleh diajukan sebagai (ketetapan) hukum dan perintahnya. Berilmu pengetahuan yang dimaksudkan tidak akan memadai kecuali dia seorang mujtahid, mengingat taklid adalah suatu kekurangan; sementara kepemimpinan menuntut kesempurnaan dalam karakteristik dan watak…" (Baca : Ibn Khaldun, Muqadimah, 135). Abd Al-Malik Al-Juwaini (Imam Al- Haramain), dalam kitabnya, Al-Irsyad; Al-Qalqasyandi dalam bukunya, Ma'atsir Al-Inafah fi Ma'alim Al-Khilafah (1 : 31),

pasal kedua, bab syarat-syarat imamah, dan Ibn Hazm Al-Andalusi, di antara para ulama yang lain, umumnya mengungkapkan kualifikasi-kualifikasi yang sama, dengan beberapa variasi kecil.

2.4. POKOK-POKOK KEPEMIMPINAN ISLAM

Yamani dalam bukunya Filsafat Politik Islam (2002 : 15-16), mengemukakan pokok-pokok kepemimpinan dalam Islam didasarkan atas empat dasar falsafi (philosophische grondslagen), antara lain : Pertama, Allah adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya. Allah adalah malik an-nas, pemegang kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi hukum. Manusia harus dipimpin dengan kepemimpinan Ilahiyah. Kedua, Kepemimpinan manusia (qiyadah abasyariyyah) yang mewujudkan hakimiyah Allah di bumi ini ialah nubuwwah. Nabi tidak hanya menyampaikan al-qanun al-ilahi dalam bentuk Kitabullah, tetapi juga pelaksana qanun itu. Supaya hukum sanggup menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan adanya kekuatan eksekutif atau pelaksana.' Ketiga, garis imamah melanjutkan garis nubuwwah dalam memimpin umat. Setelah zaman para nabi berakhir dengan wafatnya Rasulullah Saw., kepemimpinan umat dilanjutkan oleh para imam yang diwariskan oleh Rasulullah dan ahl-al-bait-nya. Setelah zaman para nabi, dating zaman 'para imam.' Keempat, para faqih adalah khalifah para imam dan kepemimpinan umat dibebankan kepada mereka. Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat berikut : Pertama, Faqahah; yakni mencapai derajat mujtahid muthlaq yang sanggup melakukan istinbath hukum dari sumber-sumbernya. Kedua, Istiqamah, Al-Shalah, dan Tadayyun; yakni memperlihatkan ketinggian kepribadian, dan bersih dari watak buruk. Ketiga, Kafa'ah, yakni memiliki kemampuan untuk memimpin umat; mengetahui ilamu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang secara kejiwaan dan rohani. Nah, bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, maka harus dibentuk 'majelis fukaha'. Wallahu 'Alam Bisshawab. (*)

BAB III

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

3.1. KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

Dalam ajaran agam Islam, hadits nabi menyebutkan bahwa setiap manusia adalah seorang pemimpin, apakah ia sebagai kepala keluarga, sebagai imam suatu umat, seorang wanita yang kedudukannya sebagai ibu rumah tangga dan bahkan seorang pembantu sekalipun ia adalah seorang pemimpin.

Hal ini didasarkan pada hadits Nabi yang berbunyi :Artinya : Abu Nu’man menceritakan hadits kepada kami, Hammad ibnu Zaid menceritakan hadits kepada kami dari Ayyub, dari Nafi’, dari Abdillah berkata: Rasulullah SAW. Bersabda “setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban.

Oleh karena itu seorang imam adalah pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban, dan seorang laki-laki adalah seorang pemimpin atas keluarganya, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban. Dan seorang wanita (istri) adalah pemimpin atas rumah suaminya dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban. Dan seorang hamba (pembantu) adalah pemimpin atas harta tuannya dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban.

Maka ingatlah bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan akan diminati pertanggungjwaban atas kepemimpinannya” . Kecuali sebagai Nabi, Muhammad SAW. adalah pemimpin yang tangguh dan paling efektif. Segala macam kualitas yang dibutuhkan untuk tampil sebagai figur kepemimpinan berhimpun pada pribadi Muhammad SAW.. Kita dapat mencatat umpamanya beberapa hal persyaratan yang telah dimiliki beliau :
Beliau adalah pribadi yang mempunyai sifat-sifat terpuji, diantaranya adalah siddiq54. Selaku pimpinan beliau memiliki kesabaran yang tinggi ketika diuji dengan harta, dengan kedudukan dan dengan wanita. Beliau tangguh dan tidak tergoyahkan. Meski beliau memiliki pengetahuan, kecerdasan dan wawasan pandangan yang luas, namun beliau tidak meninggalkan musyawarah dan diskusi dengan para sahabatnya dalam memutuskan suatu perkara yang rumit. Bahkan lebih dari itu, terkadang ide orang lain bahkan ide musuh-musunya kalau dianggap baik beliau mengambilnya.

Hal ini dilakukan dengan prinsip nisfu aqlika fi ‘aduwwika yang artinya sebagian dari ide anda dapat diperoleh dari taktik atau gagasan musuh-musuhmu. Konsep kepemimpinan (leadership) dalam pandangan agama Islam berdasarkan firman Allah SWT. surat Al Baqoroh ayat 30 yang berbunyi :Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu kepada para Malaikat :”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi" (QS. Al Baqoroh, 30) Kandungan ayat tersebut menjelaskan nikmat-nikmat Allah SWT. yang dengan nikmat tersebut menjauhan dari maksiat dan kufur serta dapat memotivasi seseorang untuk beriman kepada Allah SWT.. Diciptakannya Nabi Adam AS. dalam bentuk yang sedemikian rupa disamping kenikmatan memiliki ilmu dan berkuasa penuh untuk mengatur alam semesta serta berfungsi sebagai khalifah Allah SWT. di bumi. Hal tersebut merupakan nikmat yang paling agung dan harus disyukuri oleh keturunannya dengan cara taat kepada Allah SWT. dan tidak ingkar kepadaNya, termasuk menjauhi kemaksiatan yang dilarang oleh Allah SWT.Sedangkan penjelasan dari ayat ini adalah bahwa sesungguhnya kami (Allah SWT.) akan menjadikan Adam sebagai khalifah dan pengganti makhluk lain yang dulu menghuni bumi, mereka itu telah musnah karena saling menumpahkan darah, sekarang Adam adalah pengganti mereka.

Sebagian mufassirin berpendapat yang dimaksud dengan khalifah disini adalah sebagai pengganti Allah Allah SWT. dalam memberikan perintah-perintah Nya kepada manusia. Karenanya, istilah yang mengatakan bahwa “manusia adalah khalifah Allah di bumi” sudah sangat populer. Pengangkatan khalifah ini menyangkut pula pengertian pengangkatan sebagian manusia yang diberi wahyu oleh Allah tentang syariat-syariat Nya. Pengangkatan khalifah ini juga mencakup seluruh mahluk (manusia) yang berciri mempunyai kemampuan berfikir yang luar biasa .

Berbicara tentang kepemimpinan dalam pandangan agama Islam, maka kita akan merujuk terhadap pribadi dan pola kepemimpinan yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad SAW. yang lebih dikenal dengan istilah uswatun khasanah yang artinya teladan yang mulia atau baik. Keteladanan nabi muhammad SAW. ini telah dijamin oleh Allah SWT. dengan firman Nya dalam Al Qur’an yang berbunyi :Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri taulada yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari qiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab, 21)
Keteladanan Nabi Muhammad SAW. sangat tepat jika dicontoh oleh manusia pada umumnya dan para pemimpin pada khsusnya. Pengaruh kepemimpinan beliau masih tetap kuat, dan bagi umat Islam beliau merupakan figure keteladanan yang paling utama dalam berbagai segi kehidupan.

Beliau dengan sangat teliti dan hati-hati mencontohkan semua perbuatan baik dan menjauhkan diri dari melakukan perbuatan buruk dengan sangat teliti dan jelas.
Sesungguhnya banyak hal yang bisa dijabarkan dari sifat Rasulullah SAW namun semoga 4 sifat teladan ini sungguh menjelaskan betapa sifat kepempimpinan beliau mengakar kepada kita walau beliau telah wafat beberapa abad yang lalu, sifat kepemimpinan beliau disegani kawan dan dihormati lawan sekalipun.

1. Shiddiq (Jujur). Ini adalah sifat kejujuran yang sangat ditekankan Rasul baik kepada dirinya maupun pada para sahabat-sahabatnya (Semoga kita juga meneladaninya).Adalah ciri seorang muslim untuk jujur. Sehingga Islam bukan saja menjadi sebuah agama namun juga peradaban besar.

2.Amanah(bisa dipercaya). Sifat ini ditanamkan khususnya kepada para sahabat yang ditugaskan di semua hal apa saja untuk bisa berbuat amanah, tidak curang (atau juga korupsi di zaman sekarang) dalam hal apa saja. Sesuatu yang sekarnag menjadi sangat langka di negeri muslim sekalipun (miris).

3. Tabligh (Menyampaikan yang benar). Ini adalah sebuah sifat Rasul untuk tidak menyembunyikan informasi yang benar apalagi untuk kepentingan umat dan agama. Tidak pernah sekalipun beliau menyimpan informasi berharga hanya untuk dirinya sendiri. Subhanallah.
4. Fathonah (Cerdas).Sifat Pemimpin adalah cerdas dan mengetahui dengan jelas apa akar permasalahan yang dia hadapi serta tindakan apa yang harus dia ambbil untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada umat. Dengan mengenal beberapa sifat tadi, kita mungkin bisa sedikit mengerti kenapa Seorang Rasulullah yang ummi (tidak bisa membaca) mampu menjadi seorang Nabi, Rasul,Kepala Keluarga, Ayah, Suami, Imam Shalat, Pimpinan Umat, Pimpinan Perang menjadi sangat sukses dalam setiap hal yang beliau geluti. Semoga menjadi landasan bagi kita dan para pemimpin muslim untuk mampu meneladani apa-apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

3.2. HUBUNGAN KEPEMIMPINAN DENGAN AYAT

Adapun hubungan QS Yunus ayat 14 dengan Kepemimpinan, yakni :

1. Kalimat ”Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka,…”. Dalam kalimat ini mengandung makna bahwa setelah umat-umat yang terdahulu hancur. Maka Allah mengganti dengan umat Muhammad saw., umat yang mengikuti agama Islam, agama yang membawa manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Masyarakat Arab, sebelum kelahiran dan kerasulan Nabi Muhammad SAW, dikenal dengan sebutan jahiliyah. Jika merujuk pada arti kata jahiliyah (yang berasal dari bahasa Arab dari kata jahala yang berarti bodoh), maka secara harfiyah bisa disimpulkan bahwa masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang bodoh.

Dalam sejarah Islam dijelaskan bahwa Rasulullah diturunkan oleh Allah ke dalam suatu komunitas masyarakat yang dikenal dengan istilah masyarakat Arab Jahiliyah. Secara lingustik istilah jahilyiah berasal dari kata Bahasa Arab jahala yang berarti bodoh dan tidak mengetahui atau tidak mempunyai pengetahuan. Namun, dalam realitas yang sesungguhnya, secara faktual saat itu masyarakat Arab yang dihadapi oleh Rasulullah bukanlah masyarakat yang bodoh atau tidak mempunyai pengetahuan. Buktinya pada saat itu sastra dan syair berkembang dengan pesat di kalangan mereka. Setiap tahun diadakan festival-festival pembacaan puisi dan syair, ini membuktikan bahwa orang-orang Arab ketika itu sudah banyak yang mengetahui baca dan tulis. Selain itu mereka juga mampu membuat tata kota dan tata niaga yang sangat baik. Hal ini semakin menguatkan bahwa mereka kaum Quraisy bukanlah orang-orang bodoh dan tidak berpengetahuan. Dapat dipahami, bahwa sebenarnya mereka adalah masyarakat yang sedang berkembang peradabannya.

Masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Muhammad diistilahkan dengan jahiliyah bukan karena bodoh atau tidak berpengetahuan, atau dalam istilah lain lemah dalam aspek intelektualnya. Yang dimaksud dengan ”kejahiliyan” (ketidaktahuan) mereka ada pada dua aspek utama, pertama aspek akidah. Pada saat Rasulullah diutus oleh Allah, khurafat dan mitos-mitos yang berkembang pada saat itu telah menyeret manusia untuk menjauh dari kehidupan yang alami dan manusiawi. Dalam kondisi seperti itulah, Allah mengutus duta terakhirnya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Beliau membawa agama Islam sebagai hadiah bagi umat manusia sedunia serta memberikan penafsiran baru terhadap kehidupan manusia, selain itu beliau juga datang dengan membawa misi untuk memberantas akar kebodohan dalam masyarakat, yakni syirik kepada Allah.

Sedangkan yang kedua adalah aspek akhlak. Pada masa itu, akhlak atau moral sama sekali tidak mendapat tempat dalam masyarakat jahiliah. Pada saat itu mereka melakukan berbagai perbuatan keji tanpa merasa takut atau bersalah, di antaranya kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup, minum-minuman keras, berzina, membunuh, dan lain sebagainya. Rasulullah diturunkan oleh Allah untuk memperbaiki akhlak. Beliau menyeru masyarakat agar berpegang teguh kepada nilai-nilai moral. Selain itu beliau juga mengajarkan kepada mereka akhlak yang mulia.

2. Kalimat “…supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat. ” dimaksudkan bahwa Allah memberikan peringatan bagi kaum Muslimin agar selalu berhati-hati tentang apa yang akan dilakukan dan mengingat akan tugas-tugas yang diberikan Allah swt. kepada manusia sebagai khalifah Allah di bumi.

Di antara tugas khalifatullah fil ardi ialah menegakkan hak dan keadilan di muka bumi, membersihkan alam ini dari perbuatan najis, syirik, fasik serta meninggikan kalimat Allah. Allah akan memperhatikan dan mencatat semua perbuatan manusia dalam melaksanakan tugasnya itu, apakah sesuai dengan yang diperintahkan-Nya atau tidak. Allah menjadikan kita sebagai khalifah di muka bumi, tidak lain hanyalah untuk melihat amal-amal kita, maka perlihatkanlah kepada Allah amalanamalan kita yang baik di malam dan di siang hari. Jika kita berlaku zalim pula seperti bangsa dahulu kala itu. Niscaya kita akan lenyap pula dari muka bumi.

Secara umum, seorang pemimpin berkewajiban menjalankan hal-hal sebagai berikut:

A. Menjaga agama agar tetap pada porosnya yang abadi. Seandainya muncul seorang mubtadi’ (yang mengada-ada dalam urusan agama), ia (pemimpin) harus menjelaskan kebenaran kepadanya, memberinya landasan dan menjalankan hak serta hudud agar agama tetap terlindungi dari kerancuan sekaligus mencegah umat dari ketergelinciran (ke jurang kesesatan).

B. Melaksanakan hukum dan memutuskan perkara pihak-pihak yang bertikai sehingga keadilan menjadi tegak, orang zalim tidak dapat berbuat seenaknya, dan orang yang dizalimi tidak merasa lemah.

C. Menjaga Islam dan menjamin keamanan agar orang-orang dapat saling berhubungan dan hidup dalam kondisi nyaman yang berhubungan dengan jiwa dan harta benda.

D. Menegakkan hudud demi menjaga dan melindungi hak-hak para hamba.

E. Melindungi kaum muslimin dengan benteng yang kokoh serta kekuatan yang mampu menangkal setiap serangan musuh-musuh yang sangat berpotensi menghancurkan atau menumpahkan darah kaum muslimin atau orang-orang nonmuslim yang berada di bawah perlindungan pemerintahan Islam.

F. Melancarkan jihad terhadap orang yang telah diberi keterangan tentang ajaran Islam namun kemudian melakukan penentangan-sampai dirinya memeluk Islam atau memilih di bawah tanggungan pemerintah Islam.

G. Menyertakan orang-orang terpercaya (amanah) dalam pemerintahannya serta mengikuti nasihat orang-orang yang layak menasihati. Ini dimaksudkan agar kecakapan dijadikan tolak ukur pemberian amanat dan harta kekayaan dapat terlindungi.

H. Menjalankan pengawasan social.

BAB IV

PENUTUP

4.1. KESIMPULAN

Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama.

menyatakan bahwa dalam menjadi pemimpin di muka bumi maka manusia harus bisa menjalankan apa yang telah diamanatkan oleh Allah dan di setiap langkah sebagai seorang pemimpin, Allah akan memberikan peringatan bagi kaum Muslimin agar selalu berhati-hati tentang apa yang akan dilakukan sebagai khalifah Allah di bumi.

4.2. SARAN

Dalam makalah singkat ini penulis ingin menyarankan kepada rekan mahasiswa hendaknya kita membuat tugas yang dibebankan oleh dosen pengasuh kita yang berupa makalah khususnya mata kuliah pendidikan agama islam, kita membuat sendiri agar kedepannya kita menjadi mahasiswa yang benar-benar siap pakai di kalangan masyarakat maupun dunian kerja.