WANITA MALANG
Pukul sebelas
malam saat aku sedang
menonton televisi di kamarku sambil berbaring, terdengar bunyi pesan singkat
dari ponselku.
Dari: Anita Malang
Aku sudah sampai Solo Mas
Sejenak
aku termenung di antara
suara televisi sambil berpikir bingung setelah membaca pesan singkat
itu.
Aku bergegas menyambar topi
dan jaket jeansku yang tergantung di kamar. Aku keluarkan motor dari garasi
rumahku dan bersiap menuju stasiun Kutoarjo untuk menjemput Anita. Anita, teman
dekatku saat aku berlibur di kota Malang. Kala itu kami berkenalan saat aku
sedang menonton pertandingan sepak bola di stadion Kanjuruhan Malang. Umur
Anita tujuh tahun lebih tua dariku, badannya agak gemuk, kulitnya hitam dan
wajahnya manis. Mendengar deru motorku di garasi, ibuku bergegas keluar dari kamarnya.
“Kau mau kemana nak? Sudah
malam.”
“Mau ke stasiun bu,
menjemput temanku dari Malang.”
Belum
sempat ibu bertanya
lagi
aku sudah jalan dengan motorku menuju stasiun. Dengan tergesa-gesa dan gelisah di perjalanan aku
mengendarai motorku menuju stasiun. Baru sekali ini Anita datang ke Purworejo, bahkan Anita tidak tahu daerah Purworejo.
Tiba
di stasiun aku parkiran kendaraanku, seorang tukang parkir menghampiriku sambil
memberikan nomor parkir.
“Mas, kereta Malabar sudah lewat belum ya?” Tanyaku.
“Sudah dari tadi Mas” jawab tukang parkir itu dengan
suara keras dan lantang.
Semakin
khawatir dan bercampur aduk setelah mendengar ucapan tukang parkir itu, dalam
hatiku bertanya-tanya, bagaimana kalau Anita tidak turun di stasiun ini? Bagaimana kalau dia terbawa sampai Purwokerto atau Bandung? Rasa
khawatir itu semakin membelenggu
hati dan pikiranku. Dengan perasaan yang khawatir aku langkahkan masuk ke dalam stasiun, duduklah aku di bangku stasiun yang kosong. Aku terus memegang ponselku dan memandangi layarnya berharap Anita bisa menghubungiku. Berkali-kali
aku mencoba menelepon Anita,
tetapi nomornya tidak aktif. Angin malam semakin kencang, aku termenung menunggu di bangku stasiun. Kereta pertama lewat,
berharap itu adalah Malabar
Express
dan ternyata bukan. Beranjaklah
aku dari bangku menuju
kantor petugas stasiun, kutemui petugas stasiun dan aku bertanya
“Pak, kereta Malabar sudah lewat belum?”
“Malabar
dari Bandung
atau
Malang?” petugas itu balik bertanya.
“Dari Malang pak.” Tanyaku
sedikit khawatir.
“Oh,
belum lewat mas, nanti pukul satu sampai sini.” jawab petugas stasiun itu
Aku sedikit lega dengan
jawaban petugas itu, dan perasaan khawatirku hilang seketika. Detik
demi detik, menit demi menit, aku duduk termenung bermain ponsel sambil
menunggu kereta Malabar
Express
datang. Tepat pukul satu
malam, petugas stasiun pun memberi informasi bahwa kereta Malabar tujuan Bandung akan berhenti di stasiun. Dengan perasaan
gembira dan gugup aku berdiri melihat apakah Anita akan turun dari kereta,
kereta mulai masuk area stasiun pelan semakin pelan. Akhirnya kereta tersebut hanya menurunkan seorang
penumpang, dan penumpang itu adalah Anita, wanita yang datang dari
Malang
hanya untuk menemuiku.
Anita langsung menghampiriku karena ia sangat hafal dengan wajahku yang
dikenalnya. Ia tersenyum lebar karena aku benar-benar menjemputnya
di stasiun tengah malam seperti ini. Aku bawa barang bawaan
dia dan mengajaknya menuju
keluar stasiun.
“Mari
kita pulang, Nit!”
“Iya
mas, tapi jangan ngebut-ngebut ya?”
Kubawa Anita pulang ke rumah dengan perasaan yang bahagia
karena dia tidak salah turun stasiun.
Tiba
di rumah, kuajak Anita masuk ke dalam rumah, kukenalkan dia kepada
ibuku. Ibu
menerima dia dan mempersilahkan dia untuk beristirahat. Tepat pukul malam kusilahkan Anita untuk tidur di kamarku dan aku sendiri tidur di
ruang
keluarga. Suara ayam berkokok, sinar matahari mulai masuk kedalam rumah melalui
sela-sela ventilasi udara menadakan bahwa sudah pagi hari. Anita mengajakku jalan-jalan mengelilingi kota Purworejo sambil
menagih janji yang waktu itu pernah kuucapkan kepadanya. Aku bergegas mandi dan berpakaian
rapi untuk mengantarkan
Anita jalan-jalan
di kota Purworejo. Kuhentikan kendaraanku di sebuah toko muslim untuk memenuhi
janjiku membelikannya
jilbab. Kubebaskan
dia memilih
jilbab yang menurutnya bagus.
“Yang Ini
bagus gak mas?”
Tanyanya
dia kepada aku.
Aku hanya tersenyum.
Akhirnya Anita memilih
jilbab
warna pink yang menurutku
tidak cocok. Aku mengangguk saja agar cepat-cepat pergi dari toko tersebut
karena aku mulai bosan. Aku melanjutkan jalan-jalan dengan Anita yang rencananya akan pulang besok malam.
Keesokan
harinya aku antar Anita menuju
stasiun untuk membeli tiket kereta nanti malam menuju Malang. Terkejutnya aku saat dia mengatakan
“Aku tidak mau pulang ke Malang kalau tidak diantar kamu mas!”
Aku terpaksa menyetujuinya
karena tidak enak dengan Anita. Sesampai di rumah aku meminta izin kepada ibu untuk ikut mengantar Anita pulang ke Malang, dan diizinkanlah aku untuk
mengantar Anita
pulang ke Malang.
Pukul
sembilan
malam, aku berangkat menuju stasiun untuk berangkat ke Malang. Tibalah kami di stasiun dan kami segera duduk
di sebuah bangku kosong sambil
menunggu kereta tujuan Malang
datang untuk membawa kami. Sambil menunggu kereta datang kami berduapun asyik
mengobrol sambil tertawa. Pukul
setengah dua belas malam
petugas stasiun memberi informasi bahwa kereta tujuan Malang akan memasuki stasiun aku dan
Anita
pun segera bergegas berdiri menghampiri kereta itu. Berhentilah kereta itu di hadapanku kulangkahkan kakiku
memasuki gerbong pintu kereta. Kereta
berjalan pelan dan semakin kencang membawaku dan Anita menuju Malang.
Pukul sembilan
pagi kereta sampai di
Malang. Keluar dari stasiun kami naik kendaraan
umum menuju rumah Anita.
Sesampainya di rumah Anita aku
dikenalkan oleh keluarganya sebagai calon suami Anita. Betapa terkejutnya aku,
karena selama ini aku hanya menganggap Anita teman biasa dan itupun tidak
lebih. Di waktu santai aku mengobrol dengan Anita.
“Nit, mengapa
kamu kenalkan aku ke keluargamu sebagai calon suamimu?”
“Pokoknya aku mau menikah
denganmu mas!”
Aku tersentak kaget mendengar
ucapan Anita. Bagaimana tidak, kala itu usiaku dua puluh tahun, sedangkan Anita
sudah dua puluh tujuh tahun. Aku sama sekali belum siap menikah dank ala itu
aku sedang kuliah. Dalam istirahatku di siang hari itu, aku
tidak
mau melanjutkan hubungan ini kalau
Anita masih
bersikeras ingin segera
menikah denganku.
Sore
harinya aku bergegas kembali menuju Purworejo untuk pulang ke rumah. Aku berpesan kepada Anita untuk tidak menikah
dalam waktu dekat ini.
Aku mengatakan bahwa aku masih muda dan ingin meraih
cita-citaku.
Anita
hanya tersenyum mendengar
nasehatku.
Hari
demi hari berganti dan semakin berat juga aku menghadapinya karena aku terus
didesak untuk segera melamar Anita.
Kuputuskan untuk
membohongi Anita
bahwa aku telah bertunagan, kupinjam cincin emas milik ibuku kufoto cincin emas
yang melingkar dijari manisku, kukirimkan dia foto cincin emas itu kepadanya.
Terkejutnya dia melihat fotoku itu, dan itu tidak membuatnya untuk pergi dari
kehidupanku, dengan cincin tersebut dia semakin keras untuk memaksaku
menikahinya. Aku semakin
bingung dan memutuskan untuk tidak akan memberinya kabar.
Seminggu
telah berlalu, terkejut aku ketika
dia mengirimkan sebuah pesan singkat yang mengatakan bahwa Anita akan datang ke Purworejo untuk menjemputku. Aku hanya berpikir mungkin itu hanya
sebuah ancaman saja, aku tidak merespon sekalipun pesan singkat maupun telepon
dari dia. Malam harinya saat aku tertidur pulas, ada seseorang yang membangunkanku aku membuka mata,
dan tersentaklah aku dari tempat tidur melihat Anita yang ternyata sejak tadi
membangunkanku.
“Ngapain
kamu kesini lagi?” Tanyaku
kepada dia.
“Mas, udah tunangan makanya aku kesini lagi.”
Ibuku
tersenyum mendengar jawaban
Anita yang seperti anak kecil merengek meminta permen.
Paginya kuantar Anita ke
stasiun untuk pulang ke Malang dan aku mengatakan kepadanya bahwa aku tidak mau
menikah dengannya. Anita sangat kecewa, tetapi aku sudah memutuskan untuk fokus
kuliah. Keretapun
datang dan membawa Anita
kembali pulang ke Malang.
Saat itu
menjadi pertemuanku dan Anita
yang terakhir.
Berbulan-bulan Anita masih saja menghubungiku, aku tidak pernah meresponnya
sekalipun karena aku tidak ingin hubungan ini terjalin kembali. Suatu ketika dia memberi kabar aku
bahwa dia telah menikah, aku hanya memberikan ucapan selamat kepadanya. Dalam
hatiku aku terbebas dari dia, meskipun aku telah bersalah karena telah memberinya harapan yang tidak akan pernah
bisa kupenuhi.
No comments :
Post a Comment