CERPEN 1

Nha sekali - kali saya mau buat cerpen tentang diri saya pribadi, nha berikut ini cerita asli dari saya semoga cerita ini bermanfaat buat temen - temen semua.


WANITA MALANG

Pukul sebelas malam saat aku sedang menonton televisi di kamarku sambil berbaring, terdengar bunyi pesan singkat dari ponselku.
Dari: Anita Malang
   Aku sudah sampai Solo Mas
Sejenak aku termenung di antara suara televisi sambil berpikir bingung setelah membaca pesan singkat itu. Aku bergegas menyambar topi dan jaket jeansku yang tergantung di kamar. Aku keluarkan motor dari garasi rumahku dan bersiap menuju stasiun Kutoarjo untuk menjemput Anita. Anita, teman dekatku saat aku berlibur di kota Malang. Kala itu kami berkenalan saat aku sedang menonton pertandingan sepak bola di stadion Kanjuruhan Malang. Umur Anita tujuh tahun lebih tua dariku, badannya agak gemuk, kulitnya hitam dan wajahnya manis. Mendengar deru motorku di garasi, ibuku bergegas keluar dari kamarnya.
“Kau mau kemana nak? Sudah malam.”
“Mau ke stasiun bu, menjemput temanku dari Malang.”
Belum sempat ibu bertanya lagi aku sudah jalan dengan motorku menuju stasiun. Dengan tergesa-gesa dan gelisah di perjalanan aku mengendarai motorku menuju stasiun. Baru sekali ini Anita datang ke Purworejo, bahkan Anita tidak tahu daerah Purworejo.
Tiba di stasiun aku parkiran kendaraanku, seorang tukang parkir menghampiriku sambil memberikan nomor parkir.
Mas, kereta Malabar sudah lewat belum ya?” Tanyaku.
 Sudah dari tadi Mas” jawab tukang parkir itu dengan suara keras dan lantang.
Semakin khawatir dan bercampur aduk setelah mendengar ucapan tukang parkir itu, dalam hatiku bertanya-tanya, bagaimana kalau Anita tidak turun di stasiun ini? Bagaimana kalau dia terbawa sampai Purwokerto atau Bandung? Rasa khawatir itu semakin membelenggu hati dan pikiranku. Dengan perasaan yang khawatir aku langkahkan masuk ke dalam stasiun, duduklah aku di bangku stasiun yang kosong. Aku terus memegang ponselku dan memandangi layarnya berharap Anita bisa menghubungiku. Berkali-kali aku mencoba menelepon Anita, tetapi nomornya tidak aktif. Angin malam semakin kencang, aku termenung menunggu di bangku stasiun. Kereta pertama lewat, berharap itu adalah Malabar Express dan ternyata bukan. Beranjaklah aku dari bangku menuju kantor petugas stasiun, kutemui petugas stasiun dan aku bertanya
Pak, kereta Malabar sudah lewat belum?
Malabar dari Bandung atau Malang?” petugas itu balik bertanya.
“Dari Malang pak.” Tanyaku sedikit khawatir.
“Oh, belum lewat mas, nanti pukul satu sampai sini.”  jawab petugas stasiun itu
Aku sedikit lega dengan jawaban petugas itu, dan perasaan khawatirku hilang seketika. Detik demi detik, menit demi menit, aku duduk termenung bermain ponsel sambil menunggu kereta Malabar Express datang. Tepat pukul satu malam, petugas stasiun pun memberi informasi bahwa kereta Malabar tujuan Bandung akan berhenti di stasiun. Dengan perasaan gembira dan gugup aku berdiri melihat apakah Anita akan turun dari kereta, kereta mulai masuk area stasiun pelan semakin pelan. Akhirnya kereta tersebut hanya menurunkan seorang penumpang, dan penumpang itu adalah Anita, wanita yang datang dari Malang hanya untuk menemuiku. Anita langsung menghampiriku karena ia sangat hafal dengan wajahku yang dikenalnya. Ia tersenyum lebar karena aku benar-benar menjemputnya di stasiun tengah malam seperti ini. Aku bawa barang bawaan dia dan mengajaknya menuju keluar stasiun.
“Mari kita pulang, Nit!”
Iya mas, tapi jangan ngebut-ngebut ya?
 Kubawa Anita pulang ke rumah dengan perasaan yang bahagia karena dia tidak salah turun stasiun.
Tiba di rumah, kuajak Anita masuk ke dalam rumah, kukenalkan dia kepada ibuku. Ibu menerima dia dan mempersilahkan dia untuk beristirahat. Tepat pukul malam kusilahkan Anita untuk tidur di kamarku dan aku sendiri  tidur di ruang keluarga. Suara ayam berkokok, sinar matahari mulai masuk kedalam rumah melalui sela-sela ventilasi udara menadakan bahwa sudah pagi hari. Anita mengajakku jalan-jalan mengelilingi kota Purworejo sambil menagih janji yang waktu itu pernah kuucapkan kepadanya. Aku bergegas mandi dan berpakaian rapi untuk mengantarkan Anita jalan-jalan di kota Purworejo. Kuhentikan kendaraanku di sebuah toko muslim untuk memenuhi janjiku membelikannya jilbab. Kubebaskan dia memilih jilbab yang menurutnya bagus.
“Yang Ini bagus gak mas? Tanyanya dia kepada aku.
Aku hanya tersenyum. Akhirnya Anita memilih jilbab warna pink yang menurutku tidak cocok. Aku mengangguk saja agar cepat-cepat pergi dari toko tersebut karena aku mulai bosan. Aku melanjutkan jalan-jalan dengan Anita yang rencananya akan pulang besok malam.
Keesokan harinya aku antar Anita menuju stasiun untuk membeli tiket kereta nanti malam menuju Malang. Terkejutnya aku saat dia mengatakan
Aku tidak mau pulang ke Malang kalau tidak diantar kamu mas!
Aku terpaksa menyetujuinya karena tidak enak dengan Anita. Sesampai di rumah aku meminta izin kepada ibu untuk ikut mengantar Anita pulang ke Malang, dan diizinkanlah aku untuk mengantar Anita pulang ke Malang.
Pukul sembilan malam, aku berangkat menuju stasiun untuk berangkat ke Malang. Tibalah kami di stasiun dan kami segera duduk di sebuah bangku kosong sambil menunggu kereta tujuan Malang datang untuk membawa kami. Sambil menunggu kereta datang kami berduapun asyik mengobrol sambil tertawa. Pukul setengah dua belas malam petugas stasiun memberi informasi bahwa kereta tujuan Malang akan memasuki stasiun aku dan Anita pun segera bergegas berdiri menghampiri kereta itu. Berhentilah kereta itu di hadapanku kulangkahkan kakiku memasuki gerbong pintu kereta. Kereta berjalan pelan dan semakin kencang membawaku dan Anita menuju Malang.
Pukul sembilan pagi kereta sampai di Malang. Keluar dari stasiun kami naik kendaraan umum menuju rumah Anita. Sesampainya di rumah Anita aku dikenalkan oleh keluarganya sebagai calon suami Anita. Betapa terkejutnya aku, karena selama ini aku hanya menganggap Anita teman biasa dan itupun tidak lebih. Di waktu santai aku mengobrol dengan Anita.
“Nit, mengapa kamu kenalkan aku ke keluargamu sebagai calon suamimu?”
“Pokoknya aku mau menikah denganmu mas!”
Aku tersentak kaget mendengar ucapan Anita. Bagaimana tidak, kala itu usiaku dua puluh tahun, sedangkan Anita sudah dua puluh tujuh tahun. Aku sama sekali belum siap menikah dank ala itu aku sedang kuliah. Dalam istirahatku di siang hari itu, aku tidak mau melanjutkan hubungan ini kalau Anita masih bersikeras ingin segera menikah denganku.
Sore harinya aku bergegas kembali menuju  Purworejo untuk pulang ke rumah. Aku berpesan kepada Anita untuk tidak menikah dalam waktu dekat ini. Aku mengatakan bahwa aku masih muda dan ingin meraih cita-citaku. Anita hanya tersenyum mendengar nasehatku.
Hari demi hari berganti dan semakin berat juga aku menghadapinya karena aku terus didesak untuk segera melamar Anita. Kuputuskan untuk membohongi Anita bahwa aku telah bertunagan, kupinjam cincin emas milik ibuku kufoto cincin emas yang melingkar dijari manisku, kukirimkan dia foto cincin emas itu kepadanya. Terkejutnya dia melihat fotoku itu, dan itu tidak membuatnya untuk pergi dari kehidupanku, dengan cincin tersebut dia semakin keras untuk memaksaku menikahinya. Aku semakin bingung dan memutuskan untuk tidak akan memberinya kabar.
Seminggu telah berlalu, terkejut aku ketika dia mengirimkan sebuah pesan singkat yang mengatakan bahwa Anita akan datang ke Purworejo untuk menjemputku. Aku hanya berpikir mungkin itu hanya sebuah ancaman saja, aku tidak merespon sekalipun pesan singkat maupun telepon dari dia. Malam harinya saat aku tertidur pulas, ada seseorang yang membangunkanku aku membuka mata, dan tersentaklah aku dari tempat tidur melihat Anita yang ternyata sejak tadi membangunkanku.
Ngapain kamu kesini lagi?Tanyaku kepada dia.
“Mas, udah tunangan makanya aku kesini lagi.
Ibuku tersenyum mendengar jawaban Anita yang seperti anak kecil merengek meminta permen.
Paginya kuantar Anita ke stasiun untuk pulang ke Malang dan aku mengatakan kepadanya bahwa aku tidak mau menikah dengannya. Anita sangat kecewa, tetapi aku sudah memutuskan untuk fokus kuliah. Keretapun datang dan membawa Anita kembali pulang ke Malang. Saat itu menjadi pertemuanku dan Anita yang terakhir.
Berbulan-bulan Anita masih saja menghubungiku, aku tidak pernah meresponnya sekalipun karena aku tidak ingin hubungan ini terjalin kembali. Suatu ketika dia memberi kabar aku bahwa dia telah menikah, aku hanya memberikan ucapan selamat kepadanya. Dalam hatiku aku terbebas dari dia, meskipun aku telah bersalah karena telah memberinya harapan yang tidak akan pernah bisa kupenuhi.


No comments :

Post a Comment